Close
Pendaftaran
FPK UNAIR

Mengenal Budidaya Abalon

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Mengenal Budidaya Abalon

Bagikan

Abalon merupakan gastropoda laut dengan nilai ekonomis cukup tinggi yang sesuai dengan kandungan gizinya yang juga tinggi. Setyono (2009) menyatakan bahwa abalon mengandung 83 kalori; 18 g protein; 2,7 g karbohidrat; 0,1 g lemak; 59 mg kolesterol; 0,5 mg besi; 16 mg kalsium; 0,9 mg zink; 45 mg selenium; 35 mg magnesium dan berbagai vitamin. Kandungan selenium pada daging abalon dapat mengaktifkan enzim antioksidan glutathione peroxides yang berkhasiat untuk melawan kanker pada manusia.

Pada tahun 1980 hingga 2000, kebutuhan abalon terpenuhi dari hasil perikanan tangkap yang mengakibatkan penurunan populasi di alam. Penurunan populasi tersebut mengakibatkan produksi abalon mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas (Nur, 2020). Penurunan populasi abalon dapat membahayakan sumber daya di alam yang seharusnya dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk menjamin ketersediaan stok di alam melalui kegiatan pembudidayaan.

Pada tahun 2007, Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluh Perikanan (BPBLPP) Gondol, Bali melakukan riset pembenihan dan pembesaran pada abalon yang diperoleh dari hasil tangkapan. Hingga saat ini, teknik pembenihan abalon telah mengalami perkembangan dengan adanya teknologi berupa shock termal dan penyinaran sinar UV untuk merangsang pemijahan abalon. Sedangkan untuk teknik pembesaran pada abalon, telah dikembangkan dengan metode jaring apung (floating sea cages) dan sistem land-based. Metode tersebut diadopsi dari metode yang telah berkembang di Korea dan Tiongkok (Nur, 2020). Budidaya abalon juga dapat dikombinasikan dengan metode Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA). Metode ini memanfaatkan limbah organik dari hasil sampingan budidaya komoditas lain.  Dengan demikian, abalon menjadi hewan pengontrol kualitas lingkungan yang dapat diproduksi dan bernilai ekonomis tinggi (Hayati dkk., 2018).

Saat ini, budidaya abalon di Indonesia masih belum berkembang meskipun permintaan pasar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan abalon yang lamban, sehinga membutuhkan waktu produksi yang lama. Untuk itu, riset terkait teknik budidaya kerang abalon perlu dilakukan untuk pengembangan industri ini (Humaidi dkk., 2014; Nur, 2020).

Budidaya abalone di Cina mengadopsi sistem tradisional dan inovatif menggunakan floating rafts (Wu & Zhang, 2016)

 

Daftar Pustaka:

Hayati, H., Dirgayusa, I.G.N.P., Puspitha, N.L.P.T. 2018. Laju Pertumbuhan Kerang Abalon (Haliotis squamata) Melalui Budidaya IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2): 253-262. https://doi.org/10.24843/jmas.2018.v4.i02.253-262

Humaidi, Rejeki, S., Ariyati, R.W. 2014. Pembesaran Siput Abalon (Haliotis squamata) dalam Karamba Tancap di Area Pasang Surut dengan Padat Tebar yang Berbeda. Journal of Aquaculture Management and Technology, 3(4): 214-221.

Nur, K.U. 2020. Budidaya Abalon di Asia: Teknologi dan Manajemen Budidayanya. Media Akuatika, 5(3): 95-105. http://dx.doi.org/10.33772/jma.v5i3.13188

Setyono, D.E.D. 2009. Abalon Biologi dan Reproduksi. Jakarta: LIPI Press.

Wu, F. dan Zhang, G. 2016. Pacific Abalon Farming in China: Recent Innovations and Challenges. Journal of Shellfish Research, 35(3): 703-710. https://doi.org/10.2983/035.035.0317

Penulis             : Achmad Rahedi Dwi Subhakti (Akuakultur 2019)

Editor              : Ria Antika Sari (Akuakultur 2018)

Loading

5/5