Budidaya dan Stress pada Udang Vaname
Udang vaname merupakan salah satu jenis udang yang mudah dibudidayakan di Indonesia karena udang ini memiliki banyak keunggulan. Keunggulan dari udang vaname antara lain tahan terhadap infeksi penyakit misalnya White Spot Syndrome Virus (WSSV), nilai konversi pakan rendah (1,1-1,2), sintasan selama pemeliharaan dapat mencapai >80%, waktu pemeliharaan relatif singkat, dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar dan permintaan pasar terus meningkat (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2001; Hendrajat dkk., 2007).
Perkembangan kegiatan budidaya perikanan yang pesat dengan penerapan sistem intensif dan supra intensif yang menggunakan padat tebar yang tinggi (mencapai 400 per meter persegi) telah memunculkan permasalahan berupa penurunan daya dukung tambak bagi kehidupan udang yang dibudidayakan (Suwoyo dan Mangampa, 2010). Padat tebar yang diterapkan pada budidaya sistem intensif dengan benih udang ukuran 7-10 cm (PL40) yaitu satu ekor per liter (Badan Standardisasi Nasional/BSN, 2014). Hal ini dikarenakan padat tebar yang tinggi akan meningkatkan kompetisi dalam mendapatkan makanan, oksigen dan tempat untuk hidup sehingga menyebabkan stress yang kemudian mempengaruhi daya tahan tubuh dan kelangsungan hidup udang (Gao et al., 2017). Indikator udang yang mengalami stress dapat diketahui dengan adanya peningkatan kadar glukosa pada hemolim (darah) udang. Stres pada udang akan menyebabkan terjadinya penurunan daya tahan tubuh, sehingga udang akan mudah terserang penyakit. Timbulnya penyakit pada udang merupakan hasil interaksi tidak seimbang antara kondisi udang, lingkungan dan patogen. Ektoparasit yang sering menyerang udang adalah ektoparasit protozoa dari kelas Ciliata yaitu Zoothamnium, Vorticella dan Epistylis (Mahasri dan Kismiyati, 2015).
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Pengukuran kadar glukosa darah diawali dengan pengambilan darah udang menggunakan spuit 0,1 ml yang telah diberi EDTA 2% yang berfungsi sebagai antikoagulan. Pengambilan sampel darah (hemolim) dilakukan di bagian ventral, yaitu pada ruas abdomen kedua diantara kutikula. Hemolim yang telah terambil kemudian diteteskan pada ujung test script yang telah dimasukkan kedalam alat tes digital glukosa darah. Hasil kadar glukosa darah akan tertera pada layar alat berupa angka dengan satuan mg/dL.
Pemeriksaan infestasi ektoparasit protozoa dilakukan dengan metode natif, yaitu metode pemeriksaan secara langsung tanpa pewarnaan. Pemeriksaan dilakukan di karapas, insang, kaki jalan, kaki renang dan uropod. Selanjutnya pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x dan 1000x, mencatat jumlah parasit Yang ditemukan pada setiap organ dan didokumentasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kadar glukosa darah tertinggi 63,83 ± 3,71 mg/dL terjadi pada udang vaname dengan tingkat infestasi tinggi sebesar 116,17 ± 3,71 zooid di hari pemeliharaan ke-0 dengan padat tebar tinggi (20 ekor/15 L), yang dapat diartikan udang mengalami stress. Sedangkan kadar glukosa darah terendah 31,50 ± 4,85 mg/dL terjadi pada udang vaname dengan tingkat infestasi sedang sebesar 44,50 ± 3,08 zooid di hari pemeliharaan ke-28 dengan padat tebar rendah (10 ekor/15 L), dapat diartikan bahwa udang tidak dalam keadaan stress (normal).
Kadar glukosa darah normal udang berada pada kisaran 10-34 mg/dL (Lorenzon et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa kadar glukosa darah udang vaname pada padat tebar tinggi 20 ekor/15L berada diatas batas normal, sedangkan pada padat tebar di bawah normal yaitu 10 ekor / 15 L berada di batas normal dan padat tebar 15 ekor/15 L berada sedikit diatas batas normal. Infestasi ektoparasit udang vaname pada semua padat tebar terus menurun hingga hari ke-28 namun tetap dalam kategori tingkat infestasi sedang pada padat tebar 10 ekor/15 L dan 15 ekor/15 L dan tingkat infestasi berat pada padat tebar 20 ekor/15 L. Hasil pengukuran kualitas air pada padat tebar 20 ekor/15 L berada dalam kondisi kurang optimal bagi kehidupan udang vaname karena oksigen terlarut cenderung lebih rendah dan tingginya kandungan bahan organik seperti amonia dan nitrit. Sedangkan kualitas air pada padat tebar 10 ekor/15 L dan 15 ekor/15 L berada dalam kondisi cukup optimal bagi kehidupan udang karena oksigen terlarut cenderung lebih tinggi dan kandungan bahan organik yang lebih rendah.
Pemeliharaan dengan padat tebar tinggi yaitu 20 ekor/15 L menyebabkan kadar glukosa darah udang vaname berada diatas batas normal karena pada padat tebar tinggi menyebabkan kompetisi dalam pemanfaatan ruang gerak dan pakan sehingga menyebabkan udang vaname stres (Budiardi dkk., 2005). Selain itu, kepadatan yang cukup tinggi menyebabkan udang kurang dapat memanfaatkan makanan dengan baik sehingga udang akan kekurangan pakan. Kekurangan pakan akan memperlambat laju pertumbuhan sehingga menyebabkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan sehingga menyebabkan udang stres dan menjadi lemah serta nafsu makan udang akan menurun (Kholifah dkk., 2008).
Padat tebar yang tinggi juga menyebabkan kandungan bahan organik seperti amonia yang berasal dari sisa pakan dan ekskresi dari udang juga makin tinggi. Sisa pakan akan meningkatkan amonia yang bersifat toksik bagi udang. Hasil akumulasi bahan organik yang bersifat toksik pada udang menyebabkan pemakaian oksigen untuk oksidasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan kecepatan difusi oksigen ke dalam air. Hal ini berakibat buruk pada udang karena dapat menyebabkan oksigen berkurang hingga batas yang merugikan kehidupan udang (Sumadikarta dkk., 2013). Kualitas air yang optimal bagi kehidupan udang yaitu kandungan oksigen terlarut > 3 ppm, amonia < 0,2 ppm dan nitrit < 1 ppm (Suprapto, 2005; Wyban and Sweeney, 1991).
Kompetisi dalam pemanfaatan ruang gerak, meningkatnya konsumsi oksigen dan bahan organik yang tinggi merupakan pemacu stres pada udang vaname sehingga hepatopankreas akan melepaskan CHH (Crustacean Hyperglycemic Hormone) dan akan menstimulasi proses glikolisis yang menyebabkan terjadinya katabolisme glikogen menjadi glukosa. Jika glukosa yang dihasilkan melebihi glukosa yang dibutuhkan, maka glukosa akan terbuang dari sel hepatopankreas dan kembali ke peredaran darah (hemolim) sehingga menyebabkan tingginya glukosa dalam hemolim (hiperglikemik) (Lorenzon et al., 2004).
Ektoparasit yang ditemukan menyerang udang vaname adalah dari golongan Protozoa dari kelas Ciliata, yaitu Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella. Ketiga parasit ini memiliki sifat oportunistis, artinya dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang optimal dan akan menyerang saat kondisi inang dan lingkungan buruk. Menurut Canals and Salvado (2016), kondisi lingkungan optimal bagi tumbuhnya ketiga ektoparasit tersebut merupakan perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 0,5-2,9 ppm, amonia 0,024-18,01 ppm dan pH 4,7-8,6. Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella dapat hidup optimal pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi, sehingga pada padat tebar tinggi (20 ekor/15 L) akan terdapat bahan organik lebih tinggi, menyebabkan Zoothamnium, Epistylis dan Vorticella berkembang biak dengan baik dan mudah menginfestasi udang.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin tinggi padat tebar dan semakin lama pemeliharaan, maka berpengaruh terhadap kadar glukosa darah dan tingkat infestasi ektoparasit. Terdapat korelasi positif menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar glukosa darah maka semakin tinggi tingkat infestasi ektoparasit.

Gambar 1 Zoothamnium pada kaki jalan

Gambar 2 Vorticella pada kaki renang (pleopod)

Gambar 3 Epistylis pada insang perbesaran 100x

Gambar 4 Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Penulis
Gunanti Mahasri
Departemen MKI-BP
Email: mahasritot@gmail.com